RASIO.CO, Banda Aceh – Provinsi Aceh kini menghadapi dilema besar dalam sektor ekspor crude palm oil (CPO). Meski produksinya telah menembus angka 1 juta ton per tahun, hanya sekitar 7 persen atau 70 ribu ton yang dapat diekspor langsung melalui pelabuhan lokal seperti Krueng Geukuh (Aceh Utara) dan Calang (Aceh Jaya). Sisanya, sekitar 930 ribu ton, harus dikirim melalui jalan darat sejauh ±600 km menuju pelabuhan ekspor di Sumatra Utara.
Data dari Dinas Pertanian Perkebunan dan Bea Cukai Aceh menyebutkan, Aceh menyumbang 2,41 persen dari total produksi CPO nasional dengan luas kebun sawit sekitar 470 ribu hektar dan 63 pabrik kelapa sawit aktif. Namun, keterbatasan infrastruktur pelabuhan menyebabkan biaya logistik membengkak dan potensi pendapatan daerah tersendat.
Rp 372 Miliar Hilang Setiap Tahun
Kepala Bea Cukai Aceh, Safuadi, mengungkapkan bahwa biaya angkut darat mencapai Rp 400 ribu per ton, sehingga Aceh “kehilangan” sekitar Rp 372 miliar per tahun yang seharusnya bisa berputar di dalam daerah. Ini setara dengan lebih dari 26 ribu perjalanan truk tangki per tahun, atau 742 truk per hari, yang menekan umur jalan nasional Aceh dan meningkatkan beban biaya pemeliharaan.
“Jika seluruh CPO bisa diekspor dari Aceh, bukan hanya bea keluar yang kembali ke provinsi, tapi harga tandan buah segar (TBS) juga akan naik, dan Dana Bagi Hasil untuk Aceh bisa meningkat drastis,” kata Safuadi.
Kementerian Keuangan melalui unit Creative Financing KPBU bersama Dinas Perhubungan Aceh telah mengkaji rencana modernisasi Pelabuhan Krueng Geukuh. Investasi sebesar Rp 700 miliar dibutuhkan untuk pendalaman alur pelayaran, pembangunan loading arm, dan tangki penyimpanan berkapasitas 40 ribu m³.
Dengan throughput fee Rp 55 ribu per ton, proyek ini diproyeksikan balik modal dalam 7–8 tahun serta mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga Rp 40 miliar per tahun. Selain itu, harga TBS petani sawit dapat meningkat Rp 100–150/kg karena berkurangnya biaya transportasi.
Dermaga ekspor CPO tidak hanya akan memudahkan logistik, tetapi juga membuka jalan bagi hilirisasi industri, seperti pembangunan pabrik biodiesel, oleokimia, dan pengolahan minyak goreng. Ini berpotensi menciptakan:
- Lapangan kerja baru di sektor logistik, mutu, dan pengolahan.
- Peningkatan daya saing petani lokal.
- Pajak daerah yang mendanai layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur desa.
Selain Krueng Geukuh, pelabuhan lain seperti Calang, Meulaboh, Surin-Abdya, dan Singkil juga masuk dalam peta pengembangan pelabuhan ekspor dengan skema KPBU.
Momentum Menentukan Masa Depan Aceh
Tanpa percepatan pembangunan pelabuhan ekspor, Aceh akan terus kehilangan potensi pendapatan besar dan tertinggal dari provinsi lain yang telah bertransformasi menjadi pusat industri hilir. Infrastruktur pelabuhan bukan sekadar proyek fisik—ia adalah janji masa depan bagi 180 ribu keluarga petani sawit dan generasi muda Aceh.
“Tanpa pelabuhan, uang kita mengalir keluar; dengan pelabuhan, nilai tambah mengalir pulang,” tegas Safuadi.
Keputusan kini berada di tangan para pemimpin daerah. Setiap bulan tanpa aksi konkret berarti puluhan miliar rupiah kembali menguap di jalan raya. Jika Aceh ingin naik kelas dari lumbung bahan mentah menjadi simpul logistik dan industri, maka membangun dermaga ekspor CPO adalah langkah awal yang tidak boleh ditunda.
***


