Rasio, Tarakan – Dengan wajah lesu, Wahidin (50 Tahun), pulang ke rumahnya yang terletak di Jalan Pulau Bunyu, Tarakan. Menggunakan sepeda motor butut yang selalu setia menemani bapak dari 5 (lima) orang anak itu seakan masih tidak habis pikir atas apa yang dialaminya. Pasalnya, pertengahan april 2017 lagi-lagi mereka didatangi dan ditakut-takuti oleh oknum aparat kepolisian yang mengaku dari Kesatuan Brigade Mobil (Sat-Brimob) Detasemen C Pelopor Resort Tarakan bernama Indra Harahap di lahan yang telah belasan tahun digarapnya bersama masyarakat lain.
“Dia pakai baju seragam lengkap, itulah yang membuat kami takut,” katanya saat diwawancarai Rasio Media di rumahnya. Padahal, lanjut Wahidin, kan sudah jelas bahwa tanah yang digarap bersama teman-teman itu bukanlah sebagaimana yang diklaim oleh dua perusahaan besar yang mana pada tahun 2010 pernah menggugat mereka di Pengadilan Negeri Tarakan. Bahkan hingga kini saja, dirinya masih tidak habis fikir mengapa obyek gugatan yang dilayangkan tersebut sudah jelas-jelas salah alamat namun pada saat eksekusi lahan mereka yang menjadi targetnya.
Wahidin menceritakan, dirinya dan teman-temannya adalah sekelompok orang yang berasal dari berbagai suku dan ras yang kebanyakan berprofesi sebagai petani dan nelayan. “Selain itu ada juga yang bekas pejuang atau pensiunan tentara,” tambahnya. Sekitar tahun 1990, mereka sepakat beramai-ramai untuk menyatukan visi dan misi dalam suatu organisasi yang bernama Kelompok Tani & Nelayan “Bina Bahari”. “Waktu itu anggota ada sekitar 500an orang,” ujarnya.
Pada tahun 1997, setelah berkonsultasi dengan beberapa pejabat Pemerintah kala itu serta dilandasi akan adanya keinginan memanfaatkan lahan negara yang bebas demi meningkatkan kesejahteraan para anggota, maka atas inisiatif dari Ketua (M. Hatta) pada saat itu maka kami beramai-ramai menggarap lahan seluas 182 Hektar yang terletak di Jalan Binalatung RT 10, Kelurahan Kampung Enam, Kecamatan Tarakan Timur, Kotamadya Dati II Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur yang mana setelah adanya pemekaran beberapa bulan berikutnya lahan tersebut alamatnya menjadi Jalan Binalatung RT 09, Kelurahan Kampung I Skip, Kecamatan Tarakan Tengah, Kota Tarakan Kalimantan Utara.
Belasan tahun, Wahidin berujar, tidak pernah ada gangguan sama sekali dari pihak manapun sampai pada medio 2010, mereka mendapatkan panggilan (relaas) sebagai Tergugat dari Pengadilan Negeri Tarakan atas adanya dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dimana yang menjadi Penggugatnya yakni PT. Sumber Kalimantan Abadi (SKA) dan PT. Central Surya Dian Abadi (CSDA).
Berdasarkan data yang kami peroleh, lahan yang digugat oleh SKA dan CSDA itu seluas 421 Hektar yang dibagi 2 bagian sebagai berikut :
- Untuk SKA terletak di dahulunya Daerah Sungai Andulung, Desa Juata Laut, Kelurahan Juata Laut, Kecamatan Tarakan Utara dan sekarang Kelurahan Kampung I, Kecamatan Tarakan Tengah , Kota Tarakan dengan luas kurang lebih 217,50 Hektar yang berbatasan dengan :
Utara : Sungai Andulung
Selatan : Desa Binalatung
Barat : Saudara Mandu
Timur : Pantai
- Untuk CSDA terletak di dahulunya daerah Andulung Desa Juata Laut, Kelurahan Juata Laut, Kecamatan Tarakan Utara dan Sekarang Kelurahan Kampung I, Kecamatan Tarakan Tengah, Kota Tarakan, dengan luas kurang lebih 211,99 Hektar yang berbatasan dengan :
Utara : Saudara Rauf
Selatan : Sungai Andulung
Barat : Perwatasan Warga Binalatung
Timur : Pantai
Kedua perusahaan tersebut mengklaim bahwa mereka sebelumnya pada tahun 1981 telah terlebih dahulu mendapatkan hak atas tanah yang dikuasai oleh Bina Bahari melalui jual-beli yang mereka buktikan dengan 48 lembar surat pernyataan pelepasan hak atas tanah dan 61 lembar bukti kwitansi penerimaan uang.
Gugatan tersebut bergulir untuk waktu yang cukup panjang hingga akhirnya dimenangkan oleh kedua perusahaan tersebut sebagaimana putusan No. 03/Pdt.G/2010/PN.Trk untuk pengadilan tingkat pertama, No. 25/PDT/2011/PT.KT.SMDA untuk pengadilan tingkat banding, putusan No. 2685 K/Pdt/2011 untuk pengadilan tingkat kasasi.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 13 November 2013, panitera Pengadilan Negeri Tarakan, Budiharjo, beserta sejumlah besar aparat kepolisian mendatangi lokasi lahan petani dan mengobrak-abrik sedikitnya 20an pondok yang berdiri tegak disitu. Ya..mereka melakukan proses eksekusi terhadap tanah tersebut tanpa terlebih dahulu memastikan apakah yang dimaksud oleh kedua perusahaan tersebut adalah benar tanah milik kedua perusahaan sebagaimana mereka klaim. Selain puluhan pondok atau rumah, tanaman-tanaman siap panen diinjak-injak hingga rusak, kayu-kayu yang sedianya akan digunakan untuk pembangunan pondok-pondok hilang entah kemana, bahkan pohon sengon yang bibitnya didapat dari pemerintah pun tak luput dari keganasan proses eksekusi itu. Akibatnya, petani merasakan ketakutan yang luar biasa dan tidak berani untuk mengelola kembali lahan pertaniannya.
“Kami tidak dapat berkata apa-apa lagi,” keluh Wahidin. Pihak Kepolisian saat itu pun ketika ditanya oleh petani hanya berdalih bahwa mereka hanya menjalankan tugas. “Ikuti saja prosesnya, kami menjalankan tugas atas perintah Pengadilan, bila ada yang salah silahkan gugat kembali,” jawab Kapolres seperti ditirukan Wahidin. Para petani pun lunglai, bagaimana bisa mereka menggugat kembali. “Mengerti hukum juga tidak, kemaren itu karena kebetulan PKBH Kampus yang bantu kami, tentu tidak akan maksimal penanganannya,” kata Wahidin.
Bersambung ————————————————————————– Bagian 2