RASIO.CO, Batam – Kemunculan ojek berbasis aplikasi atau ojek online di satu sisi disambut positif oleh kalangan konsumen. Di sisi lain, kehadiran ojek online juga memunculkan masalah.
Sebagian pengemudi ojek konvensional merasa terganggu karena ojek online dianggap merebut lahan nafkah mereka. Akibatnya, muncul beberapa kasus bentrokan antara ojek konvensional versus ojek online.
Masalah aplikasi teknologi dalam sistem transportasi umum kembali mengemuka ketika muncul aksi demo dari Driver Taksi Konvensional di depan Pemko Batam kamis 8/6/2017 siang.
Aksi demo tersebut merupakan akumulasi kekecewaan para Driver Taksi atas menjamurnya layanan transportasi berbasis aplikasi teknologi, baik untuk roda dua sepeda motor maupun roda dua empat angkutan umum.
Kehadiran layanan angkutan berbasis teknologi tersebut dirasakan telah menggerus penumpang angkutan umum maupun penumpang ojek pangkalan. Keluhan ini telah dirasakan sejak pertengahan tahun 2016.
Para pengemudi taksi Konvensional mengeluhkan karena penumpang mereka mengalami penurunan lebih dari 30 persen setelah adanya ojek online maupun taksi online Kehadiran taksi online di kota Batam secara fungsional merebut pasar taksi regular atau konvensional, terkait kondisi ini, perkembangan teknologi jelas tidak bisa di hindari,
Namun jika kemajuan teknologi ini memunculkan masalah, maka pemerintah seharusnya segera bertindak. Pemerintah, harus mencari cara bagaimana agar ojek konvensional tidak ‘bentrok’ dengan ojek online.
Kehadiran ojek online ini tidak bisa dikatakan merebut pangsa pasar ojek pangkalan, karena ojek pangkalan pun dapat bergabung di ojek online. Kecuali itu, secara yuridis, ojek pangkalan dengan ojek online sama-sama tidak diatur dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Penggunaan aplikasi teknologi dalam sistem transportasi tersebut memunculkan desakan kepada pemerintah untuk merevisi UU LLAJ, yang mengakomodasi kehadiran aplikasi teknologi dalam transportasi, desakan ini benar tapi tidak tepat . Karena kasus yang diributkan itu sangat lokalistik, terjadi di beberapa kota besar saja, bukan kasus nasional. Sementara UULLAJ itu memiliki cakupan nasional.
UU LLAJ berlaku secara nasional, tidak bisa berlaku hanya untuk daerah tertentu saja. Oleh karena itu, yang betul adalah bukan UU LLAJ harus menyesuaikan kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi teknologi, melainkan aplikasi layanan transportasi yang perlu menyesuaikan LLAJ.
Terkait siaran Pers Kementerian Perhubungan Nomor : 216/HKM/III/2016 tentang Peningkatan Kualitas Layanan Angkutan Umum dan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, yang ditandatangani oleh Plt Direktur Jendral Perhubungan Darat Sugihardjo pada 16 Maret 2016 sudah tepat.
“bahwa perusahaan penyedia layanan perangkat lunak (aplikasi) dapat bekerja sama dengan operator angkutan umum yang memiliki ijin resmi, antara lain operator taksi maupun angkutan sewa”.
Siaran pers itu sudah tepat, bahwa bukan UU LLAJ yang disesuaikan dengan kehadiran aplikasi teknologi, tapi aplikasi teknologi lah yang menyesuaikan amanat UU LLAJ dan UU LLAJ sama sekali tidak anti teknologi, bahkan mendorong pemanfaatanan teknologi.
Salah satu asas UU LLAJ adalah efisiensi dan efektif (pasal 2 butir f). Asas itu hanya mungkin terwujud bila mengakomodasi kehadiran teknologi. Tapi aplikasi teknologi tersebut tidak dapat berdiri sendiri, bila dimaksudkan untuk memberikan layanan transportasi kepada publik (mengangkut penumpang dan menarik bayaran dari penumpang).
Jika sudah menjalankan peran sebagai sarana angkutan umum, maka aplikasi teknologi tersebut wajib tunduk pada UU LLAJ Pasal 139 ayat (4), yaitu bahwa penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kesaktian layanan angkutan berdasarkan aplikasi teknologi itu akan teruji di lapangan setelah mereka mengikuti persyaratan, sebagaimana yang dituntut pada pengelola taksi konvensional, yaitu memiliki izin operasional, punya pool, melaksanakan uji KIR setiap enam bulan sekali, pengemudi wajib mengikuti asuransi tenaga kerja, berpelat kuning, tarif ditentukan oleh pemerintah, dan membayar pajak.
Jika persyaratan yang sama dikenakan pada operator aplikasi teknologi dan tarif mereka masih tetap kompetitif, maka operator taksi konvensional lah yang dituntut berbenah agar tarifnya lebih kompetitif.
Tapi bila kondisinya seperti sekarang, layanan aplikasi tidak dikenai persyaratan sebagaimana dikenakan pada layanan taksi konvensional, tentu tidak fair. Pemerintah semestinya melindungi operator taksi legal, sesuai UU LLAJ, dan mengingat kita negara hukum.
Jadi mengenai solusi atas maraknya layanan angkutan umum berbasis aplikasi teknologi, bukan dengan memblokir atau melarang penggunaan aplikasi tersebut.
Tapi memaksa mereka untuk tunduk pada UU LLAJ yang mensyaratkan penyedia layanan angkutan umum berbentuk badan hukum sebagai penyedia angkutan umum.
Masalah taksi berbasis online versus taksi konvensional bukanlah perang teknologi, melainkan persaingan bisnis yang tidak equal. Karena masalahnya adalah persaingan bisnis yang tidak equal, maka peran pemerintah adalah membuat persaingan itu equal dengan mengenakan persyaratan yang sama.
Bahaya dari mengikuti desakan untuk merevisi UU LLAJ adalah perkembangan teknologi itu amat dinamis, sangat mungkin dalam waktu lima tahun akan muncul temuan-temuan teknologi baru di dalam sistem transportasi kita.
Bila temuan-temuan tersebut harus diakomodasi dalam UU LLAJ, artinya UU LLAJ setiap saat akan berubah dan kita tidak akan pernah memiliki kepastian hukum. Kepastian hukum itu diperlukan agar masyarakat memiliki kepastian hukum.
Kehadiran ojek pangkalan dan ojek online itu sebagai anomali dalam sistem transportasi akibat buruknya layanan angkutan umum, kemacetan, maka mereka tidak perlu dilarang dan juga tidak perlu diatur dalam UU LLAJ. Tugas pemerintah adalah membenahi angkutan umum agar masyarakat merasa aman, nyaman, selamat, lancar tanpa kemacetan.
Penulis : Risman R Siregar, S.H
Praktisi Hukum di Kota Batam