RASIO.CO, Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana uji materiil Pasal 1 angka 1, angka 2, dan angka 3 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Rabu (23/8/2017).
Perkara tersebut diajukan oleh tujuh orang pensiunan Perusahaan Negara Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD).
Ketujuh Pemohon perkara Nomor 55/PUU-XIV/2017 tersebut yakni Sofyan H, Wiyono, Taripan Siregar, Dasman, Sumarto, Sortha Siagian, dan Suryamah. Para Pemohon diwakili Muhammad Yusuf Hasibuan selaku kuasa hukum. Adapun bunyi pasal yang diujikan, yakni:
Pasal 1 angka 1:
“Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintah baik di pusat maupun daerah.”
Pasal 1 angka 2:
“Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pasal 1 angka 3:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.”
Yusuf menjelaskan Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya oleh pasal-pasal tersebut. Sebelumnya, para Pemohon mengajukan gugatan ke Pengadilan Usaha Tata Negara (PTUN) Jakarta karena gaji pensiunnya tidak cair dari perusahaan.
Lalu, pada tanggal 7 Juli 2008 keluar Putusan Nomor 07/G/2008/PTUN-JKT yang menyatakan PTUN Jakarta tidak berhak mengadili sengketa tersebut. Sebab, perkara sejenis seharusnya diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
“Pegawai BUMN tidaklah sejenis dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), sesuai dengan Pasal 95 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan pembubaran Badan Usaha Milik Negara. Sedangkan perkara yang bisa ditangani PTUN adalah seseorang yang tergolong sebagai PNS,” jelasnya.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta MK untuk membatalkan pasal-pasal yang diujikan.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menegaskan MK adalah lembaga peradilan yang mengujikan norma, bukan kasus konkret. Palguna melihat perkara yang diajukan merupakan kasus konkret.
“Pemohon meminta pasal-pasal UU PTUN dibatalkan supaya uang pensiunnya cair. Padahal logikanya tidak bisa seperti itu,” tegasnya.
Palguna meminta agar Pemohon melakukan analisis yang lebih mendalam. Ia mengingatkan jangan sampai tindakan para Pemohon untuk mencari solusi justru tidak tepat dengan mempermasalahkan pasal pasal tersebut. Jika nantinya pasal tersebut dihapus, jelasnya, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Misal permohonan Pemohon dikabulkan MK, akan terjadi kekosongan hukum karena PTUN secara hukum tidak diakui keberadaannya,” katanya.
Senada, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul menyebut sebaiknya Pemohon berpikir ulang kembali terkait permohonan tersebut. Sebab, menurutnya, terdapat sejumlah masalah mendasar secara logika hukum.
Sumber:MK