Resiko Kredit Masih Tinggi, Industri Perbankan Perketat Penyaluran Kredit

0
623

RASIO.CO, Jakarta-Industri perbankan bakal lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit komersial berskala kecil dan menengah (small and medium enterprise/SME) pada tahun ini. Alasannya, hingga saat ini risiko atas kredit tersebut diproyeksikan masih cukup tinggi, terutama di sektor pendukung komoditas.

Dilansir Kabar Bisnis awal pekan ini, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) Jahja Setiaatmadja mengatakan pada tahun ini pihaknya memperkirakan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di segmen kredit komersial berskala SME belum akan beranjak dari posisi akhir 2016.

Tahun lalu yang bertengger di level 2,1%, lebih tinggi dibandingkan dengan rasio NPL BCA secara keseluruhan yang tercatat sebesar 1,3%. “Di SME dan komersial, paling besar masih di situ. Untuk komersial mungkin masih akan di level sama dengan tahun lalu,” ujarnya.

Sepanjang tahun lalu, menurut Jahja, penyebab utama kenaikan NPL di segmen komersial adalah pemburukan yang terjadi di industri komoditas, sehingga menyebabkan sektor penunjangnya turut melempem. Di antara debitur bermasalah di BCA adalah para pengusaha kecil dan menengah yang bergerak di bisnis pendukung batubara.

Selain itu, penyumbang kredit bermasalah lainnya adalah para debitur yang bergerak di bisnis transportasi laut. Pada tahun lalu, bisnis angkutan laut kurang bergairah, yang disebabkan oleh sepinya permintaan pengangkutan domestik karena ekonomi melambat.

Pada tahun ini, lanjut Jahja, emiten perbankan berkode saham BBCA itu masih akan berhati-hati dalam menyalurkan kredit baru untuk menghindari pemburukan NPL. Secara bersamaan, perseroan juga akan mempercepat proses restrukturisasi.

Secara keseluruhan, BCA memproyeksikan rasio NPL pada tahun ini akan berada pada kisaran 1,5%-1,6%. Perseroan juga telah menaikkan pencadangan sebesar Rp4,5 triliun menjadi total Rp12,5 triliun, atau setara dengan 200% dari NPL.

“Kita konservatif saja, walaupun nanti realisasinya tidak sampai segitu. Tinggal kecepatan restructuring melalui write off atau menyelesaikan hingga benar-benar beres,” katanya.

Direktur Retail Banking PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Tardi juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, segmen kredit komersial dan UMKM memang masih berisiko tinggi jika dibandingkan dengan segmen kredit lainnya, seperti kredit konsumer dan kredit korporasi.

Di segmen kredit mikro, menurut Tardi, tingkat volatilitas usaha kecil masih sangat besar sehingga perlu dilindungi dengan asuransi kredit, sebagaimana skema penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Selain itu, kredit UMKM dan komersial juga dinilai masih berisiko karena mayoritas transaksi yang dilakukan oleh pengusaha di sektor itu masih berbasis transaksi tunai. Akibatnya, parameter pertumbuhan bisnisnya tidak tercatat dengan baik.

“Alasan lain kepada segmen tengah ini lebih rapuh, karena pada saat tumbuh semua orang melakukan investasi sehingga ekspektasinya menjadi tinggi. Saat mulai tumbuh, bank memberikan fasilitas yang berlebih sehingga overleveraged,” ujarnya.

Meski demikian, Tardi memperkirakan tidak ada kenaikan rasio kredit bermasalah dalam dua segmen tersebut. Pada tahun 2016, rasio NPL kredit kecil di Bank Mandiri sebesar 0,69%, sedangkan rasio NPL kredit mikro sebesar 0,19%.

ANDRI ARIANTO @www.rasio.co

Print Friendly, PDF & Email


TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini