Menyoal Independensi Hakim di Balik Kemenangan Novanto

0
532

RASIO.CO, Jakarta – Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar tengah menjadi sorotan terkait keputusannya mengabulkan praperadilan Setya Novanto. Keputusan hakim tunggal itu membuat Novanto kini tak lagi menyandang status tersangka dalam perkara korupsi KTP elektronik (e-KTP).

Dilansir CNN, Ada dua alasan yang mendasari keputusan hakim Cepi. Pertama, penetapan tersangka Novanto seharusnya di akhir penyidikan. Kedua, alat bukti dalam perkara lain tidak boleh digunakan untuk menetapkan tersangka lain.

Hakim Cepi menyebut pertimbangan tersebut sudah sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dua alasan yang memenangkan Novanto itu pun menuai kontroversi.




Hakim utama madya itu dinilai kurang memahami Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Lembaga antirasuah itu merujuk pada pasal 44 UU tersebut saat menetapkan Novanto sebagai tersangka, serta saat menunjukkan alat bukti.

Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Eko Riyadi menilai, alasan yang dipakai hakim Cepi untuk mengabulkan gugatan praperadilan Novanto adalah keliru secara hukum. Kekeliruan itu terjadi karena kurangnya pemahaman hakim atas independensinya.

“Kekeliruan agak serius pada teman-teman hakim di Indonesia dalam memahami independensi hakim dalam memutus perkara,” kata Eko kepada CNNIndonesia.com, Minggu (1/10).

Independensi hakim, kata Eko, merupakan posisi ketika para hakim bebas dari pengaruh dan tekanan lingkungannya ketika mengadili suatu perkara. Sehingga keputusannya hanya berdasarkan fakta yang terbukti di pengadilan dan hukum yang berlaku.

Ia menambahkan, benar bahwa dalam tradisi hukum di Indonesia, hakim itu independen. Artinya, putusan mereka tidak terikat pada putusan yang lain. Kemudian, hakim bebas untuk memutuskan perkara sesuai kajian fakta dan analisis pertimbangan hukum yang mereka buat.

Dengan demikian, atasan hakim pun tidak bisa mengintervensi putusannya.

“Tetapi, bukan berarti hakim itu sebebas-bebasnya untuk menerjemahkan teks-teks normatif hukum, karena ada teori, doktrin, dan yurisprudensi yang bisa digunakan untuk memahami substansi hukum seperti apa,” kata Eko.

Dalam memutus perkara, hakim memang harus merujuk pada undang-undang yang berlaku. Namun, di Indonesia hakim tetap harus mengedepankan keadilan dan kepentingan umum. Sebagaimana tercantum dalam UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 5.

Beleid pasal tersebut berbunyi, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Artinya, ketentuan itu dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

“Nah, hakim itu seringkali berlindung di balik doktrin ‘independensi’ untuk melakukan penafsiran-penafsiran yang sebenarnya tidak tepat dan lebih mengakomodasi kepentingan hukum tertentu,” ujarnya.

Peningkatan Kompetensi

Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Ganjar Laksmana Bonaprapta mengatakan, perlu adanya standar kompetensi keilmuan hukum yang tinggi bagi seseorang untuk menjadi hakim.

Standar tersebut guna memenuhi pengetahuan hakim sebelum memutus sebuah perkara peradilan.

“Setelah menjadi hakim, perlu ada peningkatan kompetensi keilmuannya secara terus menerus baik melalui pendidikan oleh Mahkamah Agung, maupun melalui evaluasi pengetahuan dan sikap hukumnya melakui putusan yang dihasilkannya,” kata Ganjar.

Evaluasi itu, kata Ganjar, bisa dilakukan dengan pelaksanaan ujian berkala.

Ganjar menambahkan, butuh semacam penyetaraan standar pengetahuan hukum bagi hakim, mengingat para ‘Wakil Tuhan’ itu berasal dari berbagai universitas yang berbeda.

“Bahkan, lulusan perguruan tinggi yang sama belum tentu sama pemahamannya. Lebih dari itu, ilmu hukum terus berkembang. Rasa keadilan masyarakat pun berubah,” ujarnya.

Agar hakim bebas intervensi selama proses pengambilan keputusan, Ganjar menegaskan bahwa hakim harus sadar untuk terus menjaga independensinya.

“Di sisi lain, hakim perlu diyakinkan bahwa kerjanya diawasi dan sistem pengawasan berjalan. Dibuktikan dengan penerapan reward and punishment,” kata Ganjar.

Sumber:CNN Indonesia
Print Friendly, PDF & Email


TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini