MK Tolak Uji Materi UU Perpajakan
Kewajiban Pajak Berlaku Surut Bagi Pengusaha Konstitusional
RASIO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Perpajakan). Putusan tersebut menegaskan kewajiban perpajakan selama lima tahun kebelakang bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Amar putusan menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan Nomor 13/PUU-XIV/2016, Selasa (21/2) lalu.
Seperti diberitakan dalam laman resmi mahkamahkonstitusi.go.id, Mahkamah berpendapat, sebagaimana ditentukan oleh pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian tidak ada pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa yang dibebankan kepada rakyat tanpa adanya persetujuan wakil rakyat (no taxation without representation). Di sisi lain, pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan perekonomian berdasarkan asas kekeluargaan. Dalam rangka mengimplementasikan asas kekeluargaan tersebut, sistem perpajakan Indonesia menganut sistem self assessment (dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri).
Berdasarkan sistem tersebut, menurut Mahkamah, semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk dicatat sebagai Wajib Pajak (WP) dan sekaligus mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ketentuan tersebut menunjukkan kewajiban perpajakan dimulai sejak terpenuhinya persyaratan, tidak tergantung pada sarana administrasi, seperti NPWP. Demikian juga bagi pengusaha, selain wajib memiliki NPWP, sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, wajib melaporkan usahanya kepada DJP untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Guna menjaga keseimbangan sistem self assessment, pasal 2 ayat (4) UU No. 28/2007 memberikan kewenangan kepada DJP menerbitkan NPWP dan/atau PKP secara jabatan apabila WP dan/atau PKP tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). Penerbitan NPWP dan/atau PKP secara jabatan oleh DJP dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki DJP ternyata orang pribadi atau badan atau pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP. Dengan demikian, penerbitan NPWP dan/atau PKP sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) merupakan sarana administrasi oleh DJP dalam menetapkan kewajiban perpajakan yang dimulai sejak dipenuhinya persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yakni paling lama lima tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP, sebagaimana ditentukan oleh ayat (4a).
Berdasarkan ketentuan tersebut maka apabila WP dan/atau PKP tidak memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, kewajiban perpajakannya akan ditagih oleh DJP sampai dengan lima tahun ke belakang sejak seharusnya memenuhi syarat untuk memiliki NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP.
Termasuk dalam pengertian ini juga bagi pengusaha yang meskipun mendaftarkan diri secara sukarela untuk dikukuhkan menjadi PKP tidak dapat menghapus kewajiban perpajakannya sebelumnya sampai lima tahun ke belakang apabila ditemukan data telah memenuhi syarat, oleh karena itulah diberikan kewenangan kepada DJP untuk mengukuhkan PKP secara jabatan. Dalam hal ini termasuk memberikan konsekuensi hukum sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) huruf e yaitu tambahan saksi adminitrasi berupa bunga sebesar 2% saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Begitu pula untuk PPN ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) uang ditagih melalui Surat Tagihan Pajak (STP) sebagai konsekuensi dari penarikan kewajiban perpajakan yang seharusnya dilaksanakan WP atau PKP sampai dengan lima tahun ke belakang.
Ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, menunjukkan adanya perlakuan yang sama antara pengusaha yang melakukan pengukuhan menjadi PKP secara sukarela maupun ditetapkan secara jabatan, sehingga terdapat jaminan keadilan, persamaan perlakuan, dan kepastian hukum bagi seluruh pengusaha, yakni bahwa kewajiban perpajakannya sama-sama dikenakan saat terpenuhinya persyaratan objektif dan subjektif serta terdapat kepastian limitasi waktu ke belakang paling lama dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
“Selain itu menurut Mahkamah, pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) UU No. 28 Tahun 2007 merupakan instrumen bagi aparat perpajakan untuk mengawasi kewajiban perpajakan WP dan/atau PKP, sehingga tercipta keseimbangan dalam sistem self assessment. Dengan demikian pasal 2 ayat (4) dan ayat (4a) UU No. 28 Tahun 2007 tidak bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto yang membacakan pendapat Mahkamah.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 13/PUU-XIV/2016 ini diajukan oleh Edi Pramono. Norma yang diajukan adalah Pasal 2 ayat (4) dan (4a) serta pasal 13 ayat (1) huruf e UU No. 28/2007. Pasal 2 ayat (4) menyebutkan, “Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).”
Sedangkan pasal 2 ayat (4a) berbunyi, ”Kewajiban Perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan nomor pokok wajib pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak sebagaimana yang diatur dalam pasal 4 dimulai sejak wajib pajak memenuhi syarat subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.”
Pada sidang perdana, pemohon meminta keadilan dengan diberlakukannya aturan kewajiban perpajakan hanya dimulai saat wajib pajak dikukuhkan sebagai PKP dan tidak berlaku secara surut. Syawaludin selaku kuasa hukum pemohon beranggapan bahwa dengan adanya kewajiban perpajakan yang berlaku surut tersebut, pemohon merasa sangat dirugikan. Selain nominalnya yang sangat besar, sebelum dikukuhkan sebagai PKP, pemohon juga sama sekali tidak membebankan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas barang-barang dagangannya.
ALLE KATA @www.rasio.co
Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id