RSIO.CO, Jakarta – Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan telah menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Edy Meiyanto, guru besar Fakultas Farmasi, karena terbukti melakukan kekerasan seksual.
“Pimpinan Universitas Gadjah Mada juga sudah menjatuhkan sanksi kepada Pelaku berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen. Penjatuhan sanksi ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku,” kata Sekretaris Universitas UGM, Andi Sandi Antonius dikutip CNNIndonesia, Minggu (6/4).
Menurut Andi Sandi, sanksi dijatuhkan berdasarkan temuan, catatan, dan bukti-bukti dalam proses pemeriksaan oleh Komite Pemeriksa yang dibentuk oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM. Komite ini menindaklanjuti laporan dari Fakultas Farmasi terkait dugaan kasus yang melibatkan Edy Meiyanto.
Komite Pemeriksa menyimpulkan bahwa terlapor terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual yang melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf l dan huruf m Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023. Selain itu, Edy juga dinilai melanggar kode etik dosen.
Sanksi pemberhentian tetap tersebut dituangkan dalam Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tentang Sanksi terhadap Dosen Fakultas Farmasi, tertanggal 20 Januari 2025.
Andi menambahkan, sebagai langkah awal, universitas dan fakultas telah membebaskan Edy dari seluruh kegiatan tridharma perguruan tinggi, serta mencopotnya dari jabatan sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi, berdasarkan Keputusan Dekan Fakultas Farmasi UGM pada 12 Juli 2024.
“Keputusan Dekan Farmasi ini ditetapkan jauh sebelum proses pemeriksaan selesai dan dijatuhkan sanksi kepada yang bersangkutan, untuk kepentingan para korban dan untuk memberikan jaminan ruang aman bagi seluruh sivitas akademika di fakultas,” ungkapnya.
“Selain itu, UGM melalui Satgas PPKS UGM terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan pada korban sesuai dengan kebutuhan para korban,” tutup Andi.
Sebelumnya diberitakan, Andi Sandi menyebut bahwa kasus ini terungkap berkat laporan dari pimpinan Fakultas Farmasi kepada rektorat mengenai dugaan tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh Edy pada awal tahun 2024. Andi tidak merinci identitas korban dalam kasus ini.
Namun, berdasarkan laporan dari Satgas PPKS UGM, sebanyak 13 orang telah dimintai keterangan, terdiri dari saksi dan korban yang terkait dengan kasus tersebut.
“Apakah seluruhnya mahasiswa atau ada juga tenaga kependidikan (tendik) dan dosen, kami tidak melihat detail itu,” ujar Andi Sandi saat dihubungi pada Jumat (4/4).
Lebih lanjut, Andi menyampaikan bahwa Edy tidak mengindahkan instruksi untuk melaksanakan seluruh kegiatan perkuliahan di lingkungan kampus. Hasil pemeriksaan internal juga mengungkap bahwa tindak kekerasan seksual oleh Edy terjadi di luar area UGM selama periode 2023 hingga 2024.
“Kalau dilihat dari ininya (modus) ada diskusi, ada juga bimbingan, ada juga pertemuan di luar untuk membahas kegiatan-kegiatan ataupun lomba yang sedang diikuti,” beber Andi Sandi.
Mengacu pada rekomendasi Satgas PPKS, rektorat UGM saat ini juga tengah memproses pemberhentian Edy Meiyanto sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Andi Sandi menjelaskan bahwa pada pertengahan Maret 2025 lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Dikti Saintek) telah mendelegasikan kewenangan pemecatan tersebut langsung kepada Rektor UGM.
“Oleh karena itu, setelah libur Idulfitri ini, kami akan menetapkan keputusan tersebut. Dan keputusan rektor akan menyebutkan bahwa yang bersangkutan dikenai sanksi, mulai dari kategori sedang hingga berat,” ujar Andi Sandi.
Terkait status guru besar Edy pascakasus ini, Andi menambahkan bahwa penentuannya berada di tangan Kementerian Dikti Saintek.
***


