Keadilan Restoratif Bagi Si Miskin

0
978

RASIO.CO, Batam – Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda maupun orang, mencari keadilan bagaikan mencari jarum dalam sekam.

Mungkin itu pepatah yang sangat pas untuk menggambarkan bagaimana sulitnya masyarakat miskin mendapatkan keadilan hukum di negeri ini. Masyarakat miskin kerapkali kesulitan dalam mendapatkan akses keadilan hukum.

Masyarakat miskin juga justru seringkali menjadi korban dari penegakan hukum yang tidak adil. Kita sering mendengar anekdot sosial yang berkembang dan menjadi pembicaraan di tengah kehidupan masyarakat.

Terkait dengan penegakan hukum atas masyarakat miskin ini “jika si miskin melaporkan kasus pencurian ayam, maka ia akan kehilangan sapi”. Pernyataan ini tentunya menohok praktik penegakan hukum di negeri ini.

Dasar filosofis dari dibentuknya suatu aturan hukum, selain untuk mengatur dan menertibkan masyarakat, juga yang paling penting adalah memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Hukum merupakan instrumen agar keadilan bisa dicapai sesuai dengan harapan publik. Namun, proses penegakan keadilan melalui instrumen hukum selalu diterpa dilema yang tak berkesudahan.

Tarik-menarik kepentingan hukum dengan kepentingan di luar hukum mengayun pendulum keadilan yang sering kali tidak memosisikan diri pada porsi yang semestinya.

Praktik penyimpangan hukum karena faktor politik-kekuasaan dan ekonomi menjadikan rakyat miskin sulit mendapatkan akses keadilan dan bahkan seringkali menjadi korban dan praktek hukum modern itu sendiri.

Hak masyarakat untuk mendapatkan keadilan secara jelas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal Pasal 34 UUD 1945 ayat (1) menegaskan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal 34 ayat (1) tersebut yang selanjutnya diikuti dengan 3 ayat berikutnya, merupakan pasal yang mengatur kesejahteraan sosial.

Pasal tersebut juga bermakna bahwa Negara memiliki kewajiban untuk melakukan usaha yang maksimal guna mensejahterahkan masyarakatnya. Tanggung jawab negara untuk menjamin pemberian bantuan hukum untuk si Miskin juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

Berdasarkan ketentuan di atas dan undang-undang berikutnya yang telah disahkan oleh DPR sudah seharusnya Negara mengakui hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik dari fakir miskin, Banyaknya peraturan pelaksana yang dikeluarkan oleh Pemerintah ternyata sejalan dengan rumitnya teknis pelaksanaan dan penyaluran dana.

Pekerja dan pengabdi bantuan hukum yang menjalankan pengabdiannya di lapangan masih kesulitan memenuhi persyaratan yang dibuat pemerintah.
Bahwa berdasarkan pertimbangan – pertimbangan tersebut, seyogyanya fakir miskin sudah seharusnya dipelihara hak – haknya oleh negara (negara diwakili oleh pemerintah), termasuk hak untuk mendapatkan keadilan.

Dalam praktiknya, fakir miskin atau yang diistilahkan sebagai masyarakat miskin, masih sulit untuk mendapatkan akses terhadap keadilan. Akses tersebut adalah jalan yang dilalui oleh masyarakat untuk menggapai keadilan di luar maupun di dalam pengadilan.

Praktek ketidakadilan hukum atas masyarakat miskin di Indonesia kerapkali terjadi. Para aparat penegak hukum lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, legalitas-formal, dari pada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat.

Masyarakat yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan mereka tidak hanya sekedar miskin secara sosial, politik, maupun ekonomi, juga miskin dan buta hukum. Mereka tidak mengetahui dan memahami hukum positif yang ada.

Bahkan akses terhadap hukum (positif) pun sangat sulit. Kondisi sosiologis ini yang menjadikan sebagian besar masyarakat miskin kita memiliki posisi tawar yang sangat lemah dihadapan hukum.

Bahkan kerapkali masyarakat miskin menjadi korban dari hukum itu sendiri. Melihat realitas ini, keberpihakan penegakkan hukum pada masyarakat miskin atau lemah adalah adalah sebuah keniscayaan. Karena bagaimanapun juga, moral dari hukum adalah keadilan .

Penegakkan hukum tidak hanya sekedar mengejar kepastian hukum, menerapkan pasal-pasal yang kaku, tapi yang lebih penting dan substansial adalah bagaimana penegakkan hukum mampu melahirkan keadilan hukum yang lebih substansial dan inklusif, tidak sekedar yang bersifat legalistik-proseduralistik.

Melihat realitas empiris tersebut, Bagaimana sebenarnya membangun dan mewujudkan keadilan hukum bagi si miskin?. Sebagai warga Negara, masyarakat miskin memiliki hak untuk mendapatkan keadilan hukum.

Secara konstitusional, sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 pasal 28D, menyatakan; “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dasar konstitusional ini sangat jelas, setiap warga negara memiliki hak dan perlakuan yang sama di muka hukum.

Tidak ada diskriminasi dalam proses penegakan hukum. Negara, dalam hal ini aparat penegak hukum memiliki kewajiban dalam memberikan keadilan hukum yang tidak diskrimantif. Baik untuk orang besar atau berkuasa maupun orang kecil yang tak memiliki akses kekuasaan.

Hak yang sama di depan hukum juga ditegaskan dalam UU HAM 39/1999 pasal 3 ; “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.

Pendek kata, keadilan hukum adalah hak setiap warga negara yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalaan mana dapat dijumpai hampir di setiap masyarakat. Hukum memiliki dua tugas utama yakni mencapai suatu kepastian hukum dan mencapai keadilan bagi semua masyarakat.

Keadilan hukum bagi masyarakat tak sekedar keadilan yang bersifat formal prosedural, aturan-aturan nomatif yang rigid yang jauh dari moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan.

Lawan dari keadilan formal-prosedural adalah keadilan substantif, yakni keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal, tapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada moralitas publik dan nilainilai kemanusian dan mampu memberikan kepuasaan dan kebahagiaan bagi masyarakat.

Ketidakpuasan masyarakat akan penegakkan hukum dalam masyarakat karena merasa nilai keadilan dan kebenaran aparat penegak hukum lebih tinggi dan lebih dianggap paling benar posisinya dibandingkan dengan keadilan berdasarkan moralitas masyarakat.

Ketidakpuasan masyarakat tersebut pertanda bahwa sebenarnya masyarakat memiliki cara-cara sendiri dalam menyelesaikan masalah sosial. Mekanisme penyelesaian yang didasarkan pada nilai dan norma sosial yang hidup dalam masyarakat, sebahagian masyarakat yang tidak tahu apa-apa dan bergelut dengan kemiskinannya, perlu mendapatkan perlakuan hukum yang berbeda. Hukum positif tidak akan memberikan keadilan yang sebenarnya untuk masyarakat miskin

Keadilan yang relevan untuk perkara si Miskin adalah keadilan restoratif. Keadilan restoratif, yaitu keadilan yang berlaku dalam proses penyelesaian sengketa. Tujuan pendekatan keadilan restoratif adalah mencapai konsensus mengenai solusi yang paling baik untuk menyelesaikan konflik.

Keadilan restoratif merupakan suatu cara baru dalam melihat peradilan pidana yang berpusat pada perbaikan kerusakan dan kerugian korban dan hubungan antarmanusia, daripada menghukum pelaku tindak pidana.

Negara yang direpresentasikan oleh institusi-institusi penegak hukum, tidak mengambil alih penyelesaian konflik yang merupakan kejahatan, karena suatu tindak pidana dalam keadilan restoratif tidak dipandang sebagai kejahatan terhadap negara, tetapi terhadap anggota masyarakat yang menjadi korban.

Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Realitas masyarakat kita adalah masyarakat yang memiliki latar dan strata sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda sebagian besar merupakan masyarakat hidup dalam kemiskinan.

Mereka tidak hanya miskin secara sosial politik, dan ekonomi, tapi juga miskin dan buta hukum. Masyarakat miskin tidak tahu dan paham tentang hukum. Karena itu, perlu ada kearifan yuridis dan sosiologis dari Pemerintah dalam penegakkan hukum terhadap masyarakat yang tergolong dalam kategori miskin.

Pada konteks pemberian bantuan ini, aparat penegak hukum tentunya tidak hanya terpaku pada aturan yuridis-normatif saja. Untuk mendapat keadilan substantif, dalam persidangan Pengadilan hakim tidak hanya sekedar menjadi corong Undang – Undang, tetapi dituntut untuk “menemukan hukum” dalam proses hukum itu sendiri,

bahkan jika perlu menemukan hukum dalam proses sosial masyarakat. Bagaimanapun juga hukum tak bisa dilepaskan dari proses interaksi sosial. Para penegak hukum tidak sekedar tahu dan paham aspek yuridis normatifnya semata, tapi juga yuridis sosiologis.

Dalam menerapkan hukum terhadap kelompok masyarakat miskin, sudah sepatutnya penegak hukum berdasar dan menggunakan prinsip-prinsip restorative justice.

Keadilan yang di luar pengadilan (non litigasi), proses penyelesaian hukum yang lebih meniktiberatkan pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian melalui musyawarah antara pelaku dan korban. Penegakkan hukum tidak hanya bertumpu pada pasal-pasal yang sifatnya kaku dan eksklusif, tapi juga perlu mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat.

Penulis : Risman R Siregar, S.H
Praktisi Hukum di Kota Batam

 

 

 

Print Friendly, PDF & Email

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini