Ahli: Penggusuran Paksa Melanggar Hak Asasi Manusia
Hukum antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah hak yang memposisikan negara sebagai penguasa, bukan sebagai pemilik. Hal tersebut disampaikan Pakar Hukum Agraria Kurniawarman dalam sidang uji materiil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasa (Perppu No. 51/1960), Senin (6/2) di ruang sidang MK.
“Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kalau begitu, timbul pertanyaan, siapa sebagai pemilik atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam itu? Adalah bangsa Indonesia atau disebut dengan milik bangsa,” jelas Kurniawarman selaku ahli pemohon.
Ketentuan tersebut, imbuh Kurniawarman, tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lebih lanjut, menurutnya, seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Berdasarkan hal itu, jika status tanah disebut sebagai tanah negara, bukan berarti tanah milik negara.
Kurniawarman menjelaskan soal domein verklaring yang mengandung prinsip bahwa seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan hak milik di atasnya adalah milik negara. Sementara itu, hak menguasai negara tidak menyatakan klaim domein seperti asas domein verklaring. Sebaliknya bahwa pada prinsipnya seluruh tanah di wilayah negara ini merupakan milik bersama bangsa Indonesia.
Sementara itu, ahli pemohon lainnya yakni Marco Kusumawijaya menyampaikan pandangannya tentang pembangunan perumahan perkotaan yang menekankan partisipasi tanpa penggusuran.
“Yang Mulia, saya ingin menyampaikan pandangan bahwa penggurusan dengan paksa bukan saja bukan solusi apalagi yang adil, tetapi juga tidak diperlukan lagi dalam keadaan kita sekarang. Karena itu justru saya ingin mulai dengan menyampaikan beberapa pengalaman yang menunjukkan alternatif tanpa penggusuran paksa dimungkinkan. Semua yang akan saya sampaikan ini berupa pengalaman, dimana saya secara langsung atau tidak,” papar arsitektur senior lulusan Universitas Katolik Parahyangan Bandung itu.
Marco menuturkan pengalamannya saat membantu pemerintah kota Solo untuk pemukiman sepanjang sungai Pepe yang melibatkan sekitar 600 keluarga tanpa menggusur. Mereka secara aktif berpartisipasi memetakan keadaannya sendiri, kemudian memikirkan cara memperbaiki sungai Pepe dan lingkungan sekitarnya, sekaligus memperbaiki pemukiman mereka.
Marco juga terlibat langsung menangani pemukiman nelayan di Pulau Bungkutoko di Kotamadya Kendari. “Beberapa tahun yang lalu, sekitar 70 keluarga pindah secara sukarela 500 meter dari lokasi permukiman mereka sebelumnya ke tempat baru dengan situasi, kondisi yang sama yang memungkinkan mereka masih dapat bekerja sebagai nelayan. Pemerintah daerah pun berperan menalangi terlebih dahulu, membeli tanah baru, memberi ganti rugi. Kemudian pemerintah pusat memberikan bantuan untuk membangun rumah-rumah baru mereka,” tandas Marco.
Ahli pemohon berikutnya, Sri Palupi selaku peneliti di Institute For Ecosoc Rights menyampaikan bahwa konstitusi sebagai hukum tertinggi lahir untuk melindungi hak asasi manusia. UUD 1945 merupakan konstitusi hak asasi manusia yang memberikan prinsip dasar hak-hak warga negara yang harus dilindungi. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
“Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 memuat materi penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak dasar yang dimuat itu merupakan bentuk pengakuan negara dan jaminan perlindungan negara atas hak-hak asasi manusia,” ucap Sri.
Sri juga menerangkan bahwa nilai hak asasi manusia mengandung prinsip kesetaraan. Bahwa hak asasi manusia berlaku untuk semuanya tanpa mempertimbangkan status, golongan, etnis, aliran politik, dan segalanya. Hak asasi manusia saling bergantung dan tidak bisa diganti.
“Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 menciptakan persoalan terkait pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi, di antaranya adalah hak atas tempat tinggal. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 ini membawa konsekuensi pada terjadinya penggusuran paksa yang meniadakan hak atas tempat tinggal dan karenanya melanggar hak asasi manusia,” pungkas Sri.
Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 96/PUU-XIV/2016 dimohonkan oleh Rojiyanto, Mansur Daud P., dan Rando Tanadi. Para pemohon adalah korban penggusuran paksa yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Rojiyanto merupakan korban penggusuran paksa di daerah Papanggo, Jakarta Utara, yang dalam proses penggusuran terjadi kekerasan. Terhadap penggusuran tersebut, pemohon mengajukan gugatan ke pengadilan hingga pada tingkat kasasi, namun pemohon tetap kalah karena Perpu No. 51/1960 tidak mewajibkan pemerintah memberikan ganti rugi kepada warga korban penggusuran paksa.
Sementara itu, Mansur Daud merupakan korban penggusuran paksa di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat. Dirinya diberikan surat peringatan dari pemerintah daerah yang ditujukan atas nama Asun, dkk, namun sepengetahuan pemohon di daerah tersebut tidak ada yang bernama Asun. Kemudian, Rando adalah seorang pelajar dan akibat dari penggusuran ini pemohon terpaksa putus sekolah dan tidak memiliki lagi tempat tinggal.
Para pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 2, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Perppu No. 51/1960. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur tentang kewenangan penguasa daerah yang dapat memaksa pengguna lahan untuk mengosongkan lahannya. Menurut para pemohon ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan pada negara dalam keadaan bahaya, bukan dalam situasi damai untuk melakukan penggusuran paksa terhadap warga negara.