RASIO.CO, Jakarta – Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Susilaningtyas, mengungkapkan bahwa anggaran LPSK mengalami pemotongan signifikan sebesar Rp144 miliar.
“Betul [dipotong Rp114 M]. Awalnya Rp229 miliar, jadi Rp85 miliar,” kata Susilaningtyas dikutip CNNIndonesia, Selasa (11/2).
Wakil Ketua LPSK, Susilaningtyas, merinci bahwa pada tahun sebelumnya, LPSK sempat mendapatkan anggaran sebesar Rp279 miliar, yang kemudian turun menjadi Rp225 miliar. Namun, dengan pemangkasan lebih lanjut hingga hanya Rp85 miliar, LPSK menghadapi tantangan besar dalam menjalankan tugasnya.
“Yang itu Rp279 miliar ini kan kita juga penyerapannya juga 99 persen. Itu ya maksimal. Nah ini lebih lagi setelah Rp85 miliar, dipotong karena efisiensi ini menjadi tantangan besar bagi kami. Karena saat ini yang kami lindungi kan 8 ribuan sekian ya,” kata dia.
Susilaningtyas menilai pemotongan anggaran LPSK ini berpotensi mempengaruhi kualitas program perlindungan saksi dan korban ke depannya.
“Iya pastinya, ya pokoknya itu berpotensi lah [berpengaruh pada perlindungan saksi-korban] ya. Pokoknya jauh ini sih masih ya, kita masih menggunakan uang yang ada,” kata dia.
Susilaningtyas menyatakan bahwa LPSK akan menerapkan beberapa strategi untuk menyiasati pemotongan anggaran dalam menjalankan tugas perlindungan saksi dan korban. Salah satu langkah yang akan dilakukan adalah melakukan screening terhadap saksi dan korban yang mengajukan perlindungan. Jika kasus mereka tidak dianggap terlalu mendesak, maka perlindungan tidak akan diberikan.
Selain itu, LPSK juga akan melakukan penghentian perlindungan bagi saksi dan korban yang dinilai sudah tidak lagi memerlukan perlindungan dalam kurun waktu tertentu. Langkah ini diambil sebagai bentuk efisiensi agar anggaran yang tersedia dapat digunakan secara optimal untuk kasus-kasus yang lebih prioritas.
“Kasusnya tidak naik harus kita hentikan, itu mengurangi ya,” kata dia.
Tak hanya itu, Susilaningtyas juga mengatakan pemotongan anggaran ini akan berdampak pada bantuan medis kepada beberapa korban yang LPSK lindungi.
“Nah nanti kalau memang sakitnya enggak terlalu urgent ya, ada yang lebih urgent, mungkin yang lebih urgent yang kita utamakan. Jadi pasti ada dampaknya, meskipun ya tidak dalam waktu dekat. Tapi lambat-lambat akan seperti itu,” kata dia.
Pegawai sarankan moratorium perlindungan
Di sisi lain, Ikatan Pegawai LPSK sempat mengingatkan pimpinan untuk berani menyampaikan moratorium layanan perlindungan kepada publik imbas sisa anggaran yang sangat terbatas untuk melakukan layanan publik.
Ketua Ikatan Pegawai LPSK Tomy Permana menilai LPSK akan kesulitan memberikan perlindungan bagi saksi dan korban dengan anggaran yang tersisa. Jika dipaksakan pun, dengan segala keterbatasan, dikhawatirkan dapat mengganggu bahkan mengurangi kualitas perlindungan.
“LPSK selama pelaksanaan perlindungan itu harus melakukan Perjadin. Ini lah yang kemudian berdampak terhadap pemenuhan hak kepada saksi korban,” kata Tomy dalam keterangannya.
Di sisi lain, Tomy turut meminta Pimpinan LPSK segera menerapkan work from anywhere (WFA) bagi pegawai. Pasalnya, dampak dari efisiensi sejumlah fasilitas kerja di kantor dikurangi, seperti listrik dan lainnya.
Keputusan pemerintah dalam melakukan efisiensi anggaran itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025.
Dalam aturan itu, Presiden Prabowo menargetkan total penghematan anggaran negara sebesar Rp306,69 triliun. Rinciannya, Rp256,1 triliun dari belanja kementerian/lembaga (K/L) dan Rp50,59 triliun dari dana transfer ke daerah.
***


