RASIO.CO, Batam – Sering muncul kepermukaan sengketa tanah. Sengketa tanah antar individu, pengusaha dengan individu, dan pengusaha lawan pengusaha. Biasanya yang menjadi persoalan sosial adalah sengketa tanah antara pemilik perusahaan dengan individu atau kelompok. Dan tak jarang kemenangan siapa yang kuat bidang finansial.
Tak jarang sengketa tanah ini menjadi serius dan menimbulkan korban jiwa. Mengapa bisa terjadi?. Ini akibat kurang memperhatikan apa yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Di situ tertera bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakytanya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Sebagai Negara berkembang ( developing country ), maka diperlukan sarana dan prasarana. Untuk membangun sarana dan prasarana itu diperlukan investor. Kehadiran investor ini tidak hanya membantu dalam cepatnya proses pembangunan tersebut, tapi akan mampu menyerap tenaga kerja, sehingga mengurangi pengangguran.
Namun tetap perlu memperhatikan hajat orang banyak. Artinya pembangunan tersebut memiliki dampak positif bagi warga Negara. Petani, nelayan dan/atau yang sejak turun temurun mengelola lahan sebagai mata pencaharian mereka harus mendapat perhatian khusus apabila lahan mereka terkena pembangunan tersebut.
Tujuannya adalah agar warga Negara merasakan dan memahami makna pembangunan tersebut. Sebab pembangunan itu tidak hanya pembangunan fisik belaka, namun harus membangun manusia seutuhnya terbebas dari rasa takut, dan menjadi lebih miskin akibat pembangunan itu.
Oleh sebab itu, pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan agar tanah tidak dikuasai oleh seseorang bersifat monopoli. Sebab, petani akan tetap sebagai petani, nelayan akan tetap nelayan, mereka sulit beradaptasi dengan industri.
Sehingga apabila lahan milik mereka diambil, maka dipastikan akan menjadi penganggur dan tercipta kemiskinan baru. Padahal tujuan pembangunan itu adalah meningkatkan derajat hidup dan kesejahteraan warga Negara.
Di Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar berbunyi : bumi, air dan ruang angkasa , termasuk kekayaan alam yang terkadung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Namun perlu diperhatikan pula bahwa di Pasal 2 ayat ( 3) UUPA disebutkan “ Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Sayangnya, sering terjadi terdapat perusahaan asing yang menggunakan kaki-tangan orang Indonesia untuk menguasai tanah. Akibatnya tercipta ketidak-harmonisan antara pemilik tanah turun temurun dengan masyarakat lain, dan tak tertutup kemungkinan orang-orang yang dijadikan kaki tangan pengusaha asing itu.
Tanpa menyadari bahwa kemelaratan akan terjadi apabila tanah yang selama ini menjadi tumpuan hidup dialihkan ke pihak lain tanpa ada proses yang dapat menjamin hidup sejahtera ke masa depan, apalagi tanah itu jatuh ke tangan penanam modal asing.
Seperti diuraikan diatas bahwa Negara yang sedang membangun memerlukan investasi, tapi harus memikirkan dampak jangka panjang terhadap kehidupan masyarakat masa depan. Jangan sampai terjadi warga Negara Indonesia yang penduduk peringkat 4 di dunia hanya menjadi penonton, sementara yang datang menggerus kekayaan alam Indonesia tanpa memikirkan kehidupan rakyat Indonesia masa depan.
Rakyat Indonesia tetap manusia agraris, belum bisa sepenuhnya menjadi Negara industri.Ungkapan “gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo“suatu kalimat yang merupakan ungkapan untuk menggambarkan keadaan bumi pertiwi Indonesia.
Gemah ripah loh jinawi berarti (kekayaan alam yang berlimpah) sedangkan toto tentrem karto raharjo (keadaan yang tenteram). Oleh sebab itu, jangan sampai terjadi kekayaan alam yang ada itu hanya enak didengar tapi tak enak dirasakan.
Peran pemerintah sangat dominan menjaga kehidupan warga Negara Indonesia yang berkelanjutan dengan kesejahteraan dengan memperhatikan hal berkaitan dengan hak konstitusi rakyat. Petani perlu diperhatikan dalam hal pertanian seperti ketersediaan pupuk, pangsa pasar hasil tani, dan sarana transportasi sehingga tidak timbul biaya tinggi ( high cost ) untuk menjual hasil tani mereka.
Bagi nelayan di dorong peningkatan hasil tangkapannya, dan tidak melakukan reklamasi tanaman mangrove, sebab nelayan bertumpu pada tangkapan ketam, udang dan ikan yang biasanya terdapat di hutan mangrove yang tumbuh di laut dangkal.
Perlu diingat terdapat orang yang berinvestasi di Indonesia, kemudian terkena kasus hukum dengan melenggang kembali ke negaranya. Tentu membawa hasil yang diperoleh dari Indonesia. Aparat kesulitan menangkap mereka karena memang lari ke negaranya yang tentu dilindungi pula oleh pemerintahnya, yang menjadi korban di Indonesia gigit jari.
Peneliti dan pengamat ekonomi dari The Institute For Global Justice (IGJ) Salamudin Daeng, mengungkapkan, kepemilikan lahan secara besar-besaran ini dilindungi Undang-Undang No 25 Tahun 2007. Menurutnya, sejak 2007 para pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan paling lama 95 tahun. Ditambahkannya, hingga kini 175 juta hektar atau setara 93 persen luas daratan di Indonesia dimiliki para pemodal swasta/asing.
Ketimpangan peruntukan dan penggunaan tanah-kata Salamuddin yang dikutip Harian Terbit di http://www.harianterbit.com- meliputi masalah perubahan fungsi tanah yang berkembang dengan sangat cepat, sebagai akibat dari pembangunan yang bersifat sektoral.
Masalah alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian berlangsung cepat. Modernisasi yang hampir selalu ditandai dengan pembangunan infrastruktur pendukungnya, menyebabkan semakin tergusurnya area-area persawahan di Indonesia.
Tanah sudah menjadi barang komoditas yang menguntungkan para pemilik modal. Ada segelintir elite, yaitu 0,2 persen penduduk, menguasai 56 persen aset nasional dalam bentuk kepemilikan tanah.
Reformasi pertanahan harus disertai dengan perencanaan tata ruang dan tata guna lahan. Dengan begitu, distribusi ruang dan tanah dapat terjadi untuk mencapai sasaran negara dalam pemerataan kemakmuran.
Pemerintah masih memiliki perangkat hukum yang mengatur kepemilikan tanah secara demokratis. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UUPA mengatur pembatasan penguasaan lahan. UUPA tidak membenarkan penguasaan tanah yang melampaui batas. Sekali lagi perlu diingat, Hak Konstitusional Rakyat Atas Tanah.
Penulis : Rumbadi,S.H.,M.H
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Riau Kepulauan Batam