RASIO.CO, Batam – Komisi I DPRD Kepri mendesak Badan Pengusahaan (BP) Batam segera memberikan solusi terhadap masyarakat yang terkena dampak langsung pembangunan Waduk Sei Gong di Jembatan VI Barelang.
Desakan tersebut disampaikan saat rombongan Komisi I, yakni Ketua Komisi I Abdurahman LC didampingi sejumlah anggota komisi, yakni Syarifuddin Aluan, Sukri Farial, Rocky Marciano Bawole dan Suprapto melakukan Inspeksi Mendadak (Sidak) di lokasi Waduk, Sei Gong, Kamis (24/8) siang.
“Kita minta segera ada solusi bagi masyarakat. Kita mendukung proyeknya, tapi kita juga minta BP Batam harus memperhatikan sisi kemanusiaannya,” ungkap Ketua Komisi I DPRD Kepri, Abdurahman LC di waduk Sei Gong.
Selain mendesak, temuan-temuan yang diperoleh langsung dari kegiatan Sidak kali ini akan disampaikan ke Pimpinan DPRD Kepri, dan kemudian ditelah untuk selanjutnya ditetapkan langkah-langkah kedepan.
Sementara itu, Sukri Farial mengatakan pada prinsipnya ada niatan baik dari BP Batam untuk melakukan ganti rugi ke warga, namun demikian besarannya itu perlu disesuaikan dan BP penuh kehati-hatian agar tidak salah langkah.
“Kita menangkapnya ada niatan baik BP Batam melakukan ganti rugi, karenanya kita tunggu berapapun kemampuannya,” ungkapnya sesaat setelah mendengarkan penjelasan dari Kabid Pengelolaan Waduk BP Batam, Adjad Widagdo di lokasi.
Perwakilan warga sekitar Waduk Sei Gong, Juwadi didampingi Joni Tarigan mengungkapkan ada dua hal tuntutan mereka, yakni segera melakukan ganti rugi atas lahan mereka termasuk kerugian materil akibat adanya pengerjaan waduk, dan kedua menghentikan pengerjaan waduk sebelum ada ganti rugi.
“Intinya kami meminta ganti rugi dilakukan secepatnya, dan meminta agar pengerjaan waduk dihentikan sebelum adanya ganti rugi,” tegas Juwadi selaku juru bicara warga.
Dalam kesempatan itu, warga juga menyayangkan arogansi dari pelaksana pembangunan waduk, dalam hal ini WIKA yang telah menutup aliran sungai sebelum membuat saluran pengelak air. Akibatnya tanaman warga sekitar waduk jadi terendam, dan mereka mengalami kerugian.
“Perjanjian kita sebelumnya, saluran pengelak air dibuat terlebih dahulu sebelum aliran sungai di bendung, tapi ini malah tidak dilaksanakan dan akhirnya banjir rendam tanaman kami,” kesalnya.
Terakhir disampaikan, warga yang sudah puluhan tahun bercocok tanam dilokasi tersebut mengaku tidak mengetahui apakah lahan tersebut HPL (Hak Pengelolaan Lain) atau hutan lindung sebagaimana yang muncul saat ini.
Karena menurutnya mereka menduduki lahan tersebut dengan membeli dari warga sebelumnya yang diperkuat dengan surat alas hak yang diketahui oleh camat setempat.
Sementara itu, Kabid Pengelolaan Waduk BP Batam, Adjad Widagdo mengatakan bahwa luas seluruh yang terkena dampak dari proyek tersebut adalah 700 hektar, dimana 360 hekter yang terendam karena menjadi daerah resapan air, dan lahan tersebut terbagi dalam kategori lahan HPL dan hutan lindung.
“Untuk yang HPL sedang kita proses besaran ganti ruginya yang naik sekitar 200 persen, sementara yang di hutan lindung kita tetap berpedoman pada legal opinion Kejati,” pungkasnya. (red/hk).
APRI@www.rasio.co