
RASIO.CO, Tanjungpinang – Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau (Kejati Kepri) tengah melakukan penyelidikan terkait dugaan pungutan liar (pungli) dalam transisi sistem tiket manual ke elektronik (e-ticketing) di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang.
Sejumlah pihak telah dimintai keterangan oleh penyidik, antara lain pihak aplikator PT Mitra Kasih Permata (MKP) selaku penyedia sistem e-ticketing, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjungpinang sebagai operator kapal feri, serta Pelindo.
“Masih dilakukan pengumpulan data dan bahan keterangan. Beberapa orang atau pihak sudah dimintai keterangan,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Kepri, Yusnar Yusuf, dikutip dari CNNIndonesia, Selasa (8/7).
Meski sejumlah pihak telah diperiksa, Yusnar menyebut belum dapat mengungkapkan hasil penyelidikan lebih lanjut karena masih dalam tahap awal.
Humas MKP, Evangelia Pranoto, membenarkan bahwa pihaknya, bersama operator kapal feri dan Pelindo, telah diperiksa oleh penyidik. Ia menegaskan bahwa MKP selaku fasilitator hanya dimintai keterangan secara objektif dan netral.
“Operator, Pelindo, dan MKP diminta keterangan secara objektif dan netral. Alhamdulillah, semua data, informasi, dan dasar hukum sudah sesuai dengan penerapan e-ticketing yang difasilitasi MKP,” ujar Evangelia.
Keluhan Penumpang
Sementara itu, penerapan sistem e-ticketing di Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang banyak dikeluhkan oleh penumpang kapal feri. Selain adanya pungutan sebesar Rp2.000 untuk setiap tiket, penumpang merasa belum merasakan manfaat sistem ini, karena tetap harus membeli tiket secara manual dan mengantre di pelabuhan.
Menurut penumpang, harga tiket kapal feri dari Tanjungpinang ke Pelabuhan Punggur Batam saat ini mencapai Rp81 ribu, termasuk biaya pas pelabuhan Rp10 ribu dan e-ticketing Rp2.000. Sebelumnya, harga tiket hanya Rp69 ribu. Keluhan lainnya datang dari lamanya waktu tempuh kapal feri yang kini mencapai satu jam, dibandingkan sebelumnya yang hanya sekitar 45 menit.
“Katanya sudah e-ticketing, tapi kami tetap antre dan beli tiket manual di pelabuhan. Biaya layanan Rp2.000 itu pun tidak terasa manfaatnya,” ujar Evi, salah satu penumpang kapal feri.
Evi berharap penerapan sistem e-ticketing benar-benar dijalankan secara optimal dan tidak setengah-setengah. “Kami masih beli manual di pelabuhan, jadi belum merasakan manfaat dari biaya layanan Rp2.000 itu,” tambahnya.
Keluhan serupa juga disampaikan Dendi, penumpang lainnya. Ia menilai, meskipun biaya layanan sebesar Rp2.000 per tiket tampak kecil, jika dikalikan ratusan atau ribuan penumpang, jumlahnya menjadi signifikan.
“Memang untuk satu penumpang tidak terasa, tapi kalau dikalikan ratusan bahkan ribuan orang, jumlahnya besar juga,” katanya.
Dendi juga mempertanyakan ke mana perginya dana pungutan tersebut. Ia berharap penerapan e-ticketing di Pelabuhan Sri Bintan Pura benar-benar dilaksanakan secara menyeluruh tanpa lagi ada pembelian tiket manual.
“Kami sebagai penumpang tidak tahu ke mana larinya uang Rp2.000 per tiket itu. Kami hanya ingin penerapan e-ticketing dilakukan secara maksimal,” ujarnya.
***


